Kiat Sukses Menghadapi Bulan Ramadhan
Kiat Sukses Menghadapi Bulan Ramadhan – Tamu agung itu
sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi
inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa
banyak orang-orang yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita,
melakukan shalat tarawih dan idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah
mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’
ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan
kondisi dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam
berpuasa dan melewati bulan Ramadhan. Golongan pertama digambarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما
تقدم من ذنبه
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya:
رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش
“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah),
al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”
Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita
dan taufik dari Allah ta’ala. Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari
ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media
kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.
Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam
menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut
merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut (Agar Ramadhan
Kita Bermakna Indah, nasihat yang disampaikan oleh Syaikh kami Dr. Ibrahim bin
‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain
Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):
Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah
Ta’ala
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan
musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan
taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal
kepada-Nya.”
Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang
dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon
pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan
mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini
merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu
amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum
beramal, ketika beramal dan setelah beramal:
A. Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap
tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan
meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat
bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya
kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah
kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.
Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang
paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk
menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah
dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita
juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan
supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan
amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani
bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan
beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai
makhluk yang lemah:
وخلق الإنسان ضعيفا
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan
memberi taufik-Nya pada kita.
B. Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang
hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di
sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya:
Firman Allah ta’ala,
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له
الدين
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada
Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari
kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
C. Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas
kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah
(pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal.
Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka
dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai
manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai
menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat
begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan
suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus
menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga
tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang
menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa
rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang
merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan
amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri
serta amalannya.
Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:
فبما أغويتني لأقعدن لهم صراطك المستقيم. ثم
لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمائلهم
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian
saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)
Kiat Kedua: Bertaubat Sebelum Ramadhan
Tiba
Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di
antaranya: firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا
إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun
di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingatkan,
كل بنى آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang
berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya
oleh Syaikh Salim Al Hilal)
Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia
tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari
segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam
kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu
Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad
hal: 42-48). Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka
prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.
Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah:
bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat
yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:
- Meninggalkan maksiat.
- Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
- Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
- Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)
Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang
betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat,
namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali
berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di
bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.
Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala
baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari
Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya
Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita
berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan
pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori
bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس
لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya,
maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan
minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:
إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب
والمحارم ودع أذى الجار, وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك, ولا تجعل يوم صومك ويوم
فطرك سواء
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan
lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu
menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah
kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif,
karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)
Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal
yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan
sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan
sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita
mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.
Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah
menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para
ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan
antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa,
meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”
Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri
(berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu
Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri
dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan,
minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar menahan
diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan.
Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di
bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan
tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang
yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan
seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak
berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti
ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini
merontokkan ganjaran puasa.”
Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang
Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena
amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi,
bahwa Allah ta’ala berfirman:
وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت
عليه
“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang
lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)
Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan
adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria),
berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah
diuraikan dalam sebuah hadits:
من صلى لله أربعين يوما في جماعة يدرك
التكبيرة الأولى كتب له براءتان: براءة من النار وبراءة من النفاق
“Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan
berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan
baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan
dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak
pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima
waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha
sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya
menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah
dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan
shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen,
namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan
berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai
persiapan diri untuk shalat tarawih!!?
Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap
kewajiban!Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi
dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat
tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu.
Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan
tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan
perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu,
lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.
Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan
Lailatul Qadar
Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul
qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS.
Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS.
Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam
yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS.
Al-Qadar: 3). Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh
keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya
seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.
Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan Sebagai
Madrasah untuk Melatih Diri Beramal
Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah
Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik
diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah
itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita
menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
Allah ta’ala memerintahkan:
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين
“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)
Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,
إن الله لم يجعل لعمل المؤمن أجلا دون الموت
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin
melainkan ajalnya.”
Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan
Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid,
shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri
majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita
budayakan di luar Ramadhan.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود
الناس, وكان أجود ما يكون في رمضان
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling
dermawan, dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di
bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan
ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:
بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضان
“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan
hanya di bulan Ramadhan!”
Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda
terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri
kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/kiat-sukses-menghadapi-bulan-ramadhan/
Disclaimer: Beberapa artikel di blog ini terkadang berisi informasi dari berbagai macam sumber. Hak cipta berupa gambar, teks, dan link sepenuhnya dimiliki oleh web tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami.Disini
0 Response to "Kiat Sukses Menghadapi Bulan Ramadhan"
Posting Komentar