Panduan dan Tata Cara I’tikaf Ramadhan Sesuai Sunnah Nabi SAW
Panduan dan Tata Cara I’tikaf Ramadhan – I’tikaf menurut bahasa
berarti menetap, mengurung diri, terhalangi atau tetap di atas sesuatu.
Sedangkan menurut istilah berarti berdiam diri di masjid dalam rangka
menjalankan ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan
diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan dikhususkan sepuluh hari terakhir
untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai arti
i’tikaf. Ulama Hanafiyah berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid
yang biasa digunakan untuk melakukan shalat berjama’ah, ulama Syafi’iyyah
mengartikan i’tikaf dengan berdiam diri di masjid dalam rangka melaksanakan
amalan tertentu dengan niat karena Allah.
Perintah I’tikaf dalam al-Qur’an dan
Hadis.
… فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا
كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: …maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertaqwa.” [QS. al-Baqarah: 187]
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah
rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang
sujud.” [QS. Al Baqarah: 125]
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan.” [HR. Bukhari & Muslim]
Syarat-syarat I’tikaf yang harus
Ditunaikan
1. Orang yang melaksanakan i’tikaf beragama Islam
2. Orang yang melaksanakan i’tikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan
3. I’tikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa
4. Orang yang akan melaksanakan i’tikaf hendaklah memiliki niat i’tikaf
5. Orang yang beri’tikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya orang yang tidak berpuasa boleh melakukan i’tikaf.
2. Orang yang melaksanakan i’tikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan
3. I’tikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa
4. Orang yang akan melaksanakan i’tikaf hendaklah memiliki niat i’tikaf
5. Orang yang beri’tikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya orang yang tidak berpuasa boleh melakukan i’tikaf.
Amalan-amalan yang dapat Dilaksanakan
Selama I’tikaf
1. Melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan
lain-lain
2. Membaca al-Qur’an dan tadarus al-Qur’an
3. Berdzikir dan berdo’a
4. Membaca buku-buku agama
2. Membaca al-Qur’an dan tadarus al-Qur’an
3. Berdzikir dan berdo’a
4. Membaca buku-buku agama
Hal-hal yang Membatalkan Itikaf Ramadhan
- Berjima’ atau perbuatan-perbuatan muqaddimahnya.
- Keluar dari masjid bukan untuk suatu keperluan mendesak.
- Gila.
- Murtad.
- Haidh dan Nifas bagi seorang wanita.
Waktu Utama Pelaksanaan I’tikaf Ramadhan
I’tikaf sangat dianjurkan untuk dilaksanakan setiap waktu di bulan
Ramadhan, namun waktu paling utama yaitu 10 hari terkahir bulan ramadhan yang
tidak pernah dilewatkan oleh Nabi SAW. Berdasarkan hadis berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى
تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan
Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat,
kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]
Di kalangan para ulama, terdapat perbedaan pendapat tentang waktu
pelaksanaan i’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam selama 24 jam
atau waktu-waktu tertentu saja (beberapa waktu/sesaat).
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf boleh dilaksanakan pada waktu
yang singkat namun tidak ditentukan batasannya. Sedangkan menurut ulama
malikiyah i’tikaf dilaksanakan selama 24 jam atau dalam kurung waktu minimal
satu malam satu hari.
Kesimpulan: I’tikaf dalam bulan ramadhan boleh dilakukan kapan saja, namun
waktu paling utama yaitu sepuluh hari terakhir bulan ramadhan. I’tikaf boleh
dilakukan dalam jangka waktu yang sebentar, namun sangat dianjukran bila
dilaksanakan dalam waktu yang lama berdasarkan beberapa hadis nabi yang
melakukan i’tikaf dalam waktu yang lama.
Tempat Utama dalam Pelaksanaan I’tikaf
Ramadhan
Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i’tikaf
dilaksanakan di masjid. Masjid yang paling utama untuk dijadikan tempat
i’tikaf adalah Masjidil Haram lalu Masjid Nabawi lalu Masjid al-Aqsha.
Berdasarkan hadis nabi berikut:
“Shalat di masjid al Haram bernilai seratus ribu kali shalat dan shalat di
masjidku bernilai seribu kali shalat sedang shalat di masjid al Maqdis bernilai
lima ratus kali shalat.” [HR. al-Bazzar]
Shalat di masjidku ini nilainya seribu kali lebih baik dibandingkan pada
masjid lain kecuali pada Al Masjidil Haram”. [HR. Muttafaq Alaihi]
Para ulama juga bersepakat bahwa Masjid Jami boleh dipakai untuk beritikaf
dan ia lebih utama setelah ketiga masjid diatas daripada masjid-masjid lainnya.
Namun mereka berbeda pendapat tentang masjid selain mesjid jami.
Pendapat terkuat yaitu boleh melakukan i’tikaf di mesjid yang di dalamnya
dilaksanakan sholat berjamaah. Seperti yang dikemukan oleh Abu Hanifah dan
Imam Ahmad berdasarkan hadis dari Aisyah: ”Diantara perbuatan sunnah bagi
seorang yang beritikaf adalah tidak keluar kecuali untuk menunaikan hajat
manusia dan tidaklah beritikaf kecuali di masjid (yang terdapat shalat)
jamaah.”
Para ulama dari kalangan Syafi’i berpendapat bahwa itikaf dapat
dilaksanakan di masjid apasa saja, ini juga termasuk pendapat para ulama Maliki
walaupun mesnyaratkan masjid tersebut digunakan untuk shalat jumat. [Baca:
Markaz al-Fatwa]
Kesimpulan: Masjid paling utama dalam melaksanakan i’tikaf yaitu Masjidil Haram lalu
Masjid Nabawi lalu Masjid al-Aqsha, lalu masjid jami, lalu masjid yang
digunakan untuk berjamaah.
Bolehkah i’tikaf dilakukan di rumah?
Para ulamah fikih sepakat bahwa i’tikaf yang dilakukan selain di mesjid
tidaklah termasuk i’tikaf (tidak sah) berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam
“Sedang kamu beri’tikaf didalam mesjid.” [QS. Al Baqoroh: 187]. Hal ini, juga
merupakan tuntunan Nabi SAW.
Hal-hal yang Perlu Mendapat Perhatian bagi
Mu’takif
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di
dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang
melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang
dibenarkan, yaitu;
- karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan shalat Jum’at
- karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya.
- Karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
Keluar darah karena penyakit bukan karena haid (darah istihadhah),
dibolehkan untuk beri’tikaf di masjid. Berdasarkan hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتِ اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحَاضَةٌ فَكَانَتْ تَرَى الْحُمْرَةَ
وَالصُّفْرَةَ فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّي
Dari Aisyah, semoga Allah meridhainya, ia berkata, “Seorang istri Nabi ikut
beri’tikaf bersama beliau padahal dia sedang istihadhah [keluar darah karena
penyakit bukan karena haid], ia melihat darah merah kekuning-kuningan.
Terkadang kami meletakkan mangkok di bawahnya ketika ia sedang shalat”. [HR. Mutafaq Alaih]
Catatan: Boleh beri’tikaf selama dapat menjaga kebersihan masjid dari tetesan
darah.
Semoga Artikel tentang Panduan dan Tata Cara I’tikaf Nabi SAW ini mempermudah kita dalam menjalankan ibadah selama bulan suci ramadhan kali ini dan seterusnya sehingga kita bisa mendapat gelar menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Amin Ya Rabbal lamin…
Disclaimer: Beberapa artikel di blog ini terkadang berisi informasi dari berbagai macam sumber. Hak cipta berupa gambar, teks, dan link sepenuhnya dimiliki oleh web tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami.Disini
0 Response to "Panduan dan Tata Cara I’tikaf Ramadhan Sesuai Sunnah Nabi SAW"
Posting Komentar